Minggu, 15 Juni 2014

Riview Novel: (Bukan) Salah Waktu


(Bukan) Salah Waktu karya Nastiti Denny, adalah sebuah Novel yang merupakan naskah terpilih sebagai pemenang dalam lomba yang bertema Wanita Dalam Cerita yang diadakan oleh penerbit Bentang Pustaka. 

Awalnya gue berencana bakal nyelesaiin baca novel tersebut dalam waktu seminggu, dengan pertimbangan baca sedikit demi sedikit biar bisa cerna isi didalamnya. Tapi, ternyata rencana gue gagal.
Konflik didalamnya memaksa gue untuk terus membaca hingga habis dalam waktu empat hari. Jauh lebih cepat dari perkiraan gue sebelumnya. Itu juga masih penasaran saat gue coba kasih jeda pas baca. 

Dari judul: (Bukan) Salah Waktu, menurut gue udah tepat. Apalagi dilengkapi dengan keterangan beberapa angka pada jam yang diurut tidak semestinya, tetapi berserakan diluar bulatan jam, seolah ingin menguatkan pernyataan pada judul bahwa bukan waktu lah yang salah. 

Dari segi penokohan, sanggup bikin gue membayang-bayang sosok yang diceritakan sama penulisnya. Terutama karena ciri-ciri yang disampaikan sangat rinci. Meskipun pada akhirnya tokoh Sekar kurang jelas siapa sesungguhnya orang tua kandungnya, karena dia sendiri diadopsi oleh mama angkatnya dari sebuah rumah sakit. Entah atas dasar alasan apa orang tua kandungnya juga tidak dideskripsikan sama penulisnya. Meskipun dalam hal ini adalah hak penulis seuntuhnya, mau dibawa kemana arah cerita yang ingin disampaikannya.  

Sementara Laras yang akhirnya pergi entah kemana, justru memberikan dampak baik terhadap Prabu karena berkas-berkas tentang Wira telah diserahkan semuanya. Apalagi setelah tau bahwa Wira adalah darah daging Prabu, yang dibuktikan melalui tes DNA. Seperti penuh rasa percaya, laras menyerahkan tanggung jawabnya sebagai ibu  untuk membmbing dan membesarkan Wira kepada Prabu. 

Dari segi setting, cukup jelas, yaitu bertempat di Jakarta.
Kemudian mengenai alur, yang dipakai adalah alaur maju mundur. Semua kejadian yang terjadi sebelumnya dicetak dengan huruf miring. 

Mengenai blurb, sebenarnya menurut gue terlalu menjelaskan isi secara keseluruhan, padahal  lebih menarik kalau misalnya pembaca membiarkan penasaran. Tapi menyangkut diksi yang ditulis pada blurb tersebut sangat menarik. 

Kekurangannya: tanpa daftar isi, dan setiap cerita hanya dipisahkan dengan menggunakan bagian satu, dua, dan seterusnya, tidak menunjukan konflik yang terjadi pada sebuah bab.
Kelebihannya: buaanyakk banget. Yang paling menonjol adalah Konfliknya. Karena pada dasarnya sebuah cerita dikatakan menarik karena adanya konflik. Kalau itu gak ada, yah, gak bagus. Dan gue temukan itu pada novel (Bukan) Salah Waktu. 

Menyangkut ending, Sekar akhirnya berdamai dengan keadaan, karena gak nyangka anak kecil yang pernah ditolongnya bernama Wira adalah anak Prabu sendiri yang lahir dari rahim Laras. Dan itu seolah menjadi alasan kuat bagi Sekar untuk berdamai dengan keadaan dengan memanfkan Prabu atas masa lalunya. 

Itu dulu yanag bisa ceritakan mengenai isi novel tersebut. Yang pasti, saat baca novel itu reaksi gue kesal, terharu, juga nangis. Tapi nangisnya gak kenceng sampai didengar sama tetangga, kok :)
Gue juga tenggelam sama cerita didalamnya. Walaupun gue sendiri belum nikah dan novel itu menceritakan tentang kehidupan orang yang sudah berrumah tangga. Pokoknya novel ini cocok buat ngisi kekosongan lo deh, dijamin gak nyesel.



Minggu, 09 Februari 2014

Terlalu Indah Untuk Dilupakan



Banyak kenangan-kenangan indah sekaligus ajaib, aneh, terkesan, ato apapun itu namanya yang pernah gue lewati selama masa putih abu-abu. Yang pasti bukan tentang gimana gue dengan serius mendengar setiap materi yang dijelasin sama guru, bukan juga tentang prestasi yang pernah gue raih.  Karena memang, gue sama sekali gak masuk kategori siswa yang pernah berpretasi di sekolah :) 
Jadi, jangan harap gue bercerita tentang prestasi,yah! Terus nyeritain apaan? Mari, simak baik-baik!

Gue dulu cukup terkenal di sekolah. Bukan karena nilai raport gue yang menjulang tinggi, tapi karena beberapa tingkah ajaib yang sanggup bikin guru terheran-heran dan kejang-kejang.

Gue inget banget, dulu, kalo udah hari Rabu-Kamis, biasanya sekolah gue mewajibkan siswanya make seragam pramuka. Gue juga sama kayak siswa kebanyakan: menuruti peraturan itu. Tapi biasanya gue tambahin dengan peraturan gue sendiri, seperti penambahan beberapa perhiasan untuk mempergantengkan diri. 

Temen kelas gue yang lain, biasanya berpakaian rapi. Baju, celana, kaus kaki, lengkap.  Jarang banget gue ngeliat mereka langgar aturan.   

Seperti yang gue bilang, gue suka nambahin dengan beberapa perhiasan untuk mendukung proses belajar gue. Jadi, kalo hari Rabu udah tiba, gue make seragam pramuka, baju gak dimasukin, dari bawahnya make sandal. Terus, demi menyita perhatian para cewek-cewek di sekolah, gak lupa gue tambahin dengan gelang ditangan, anting ditelinga, kalung dileher, topi, dan terakhir sebuah gitar. Yap! kalo itu semua udah beres, serasa lengkap banget sebagai artis lokal yang nyamar jadi siswa di sekolah.

Jaman gue sekolah juga, handphone gak serame seperti sekarang ini. Yang punya bisa dihitung pake jari. Dari beberapa siswa yang memiliki barang langka itu, gue termasuk salah satunya.  Pokoknya, fasilitas belajar gue lengkap deh. Setidaknya lengkap menurut gue.

Alhasil, sebelom gue masuk kelas, selalu dicegat dan lansung disuguhkan sarapan pagi oleh guru: Tiga tamparan di pipi kiri, tiga di kanan. Jumlahnya jadi..hitung aja sendiri. Itu adalah menu yang nyaris tiap hari gue nikmati. Anehnya, gue gak pernah kapok ngelakuin itu semua. 

Pernah waktu itu, Tas dari semua siswa diperiksa sama guru kesiswaan, Pak Ande. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa siswa gak ada yang bawa barang-barang haram seperti: minuman keras, kartu buat judi, dan lain sebagainya. Dari hasil pemeriksaan, punya gue yang paling banyak disita.  Kalung yang biasa gue pake, anting, handphone, sandal, topi, juga gitar. Gara-gara ini, gue dihukum berlutut ditengah lapangan, bermandikan panasnya matahari yang semakin brutal menghitamkan kulit gue yang sebenarnya udah item. 

Semua barang-barang yang disita, bakal dikembalikan setelah dua hari kemudian. Untungnya ada satu guru yang paling akrab sama gue, Pak Ignas. Dia yang ngembaliin gitar gue hari itu juga. Asal-usul keakraban kami berdua, karena mempunyai hobi yang sama: bisa maen gitar.

Pokoknya di sekolah kalo denger suara gitar, bisa dipastikan itu adalah gue. Karena tiap hari gue selalu membawanya. Serasa keren aja gitu. Walopun cukup sering gue dihukum gara-gara gitar juga. Seperti waktu itu, gue duduk dilante dua sekolah gue. Asik-asikan duduk, sambil melirik siswa kelas satu yang pada bening-bening. Gue nyanyi-nyanyi gak jelas dengan suara yang gak ada bagusnya sama sekali, tapi tetep pede. Gimana enggak, wong banyak cewek yang pada lirik-lirik gitu.  Seakan-akan mereka bilang "Duh, pengen deh jadi pacarnya kakak yang maen gitar itu. Ganteng lagi" tiba-tiba, 

"Robianus..," suara serak-serak basah itu diam sejenak. Gue masih asik dengan melodi gitar yang sedang gue mainkan "Turun sekarang!!" lanjut suara dari seberang sana. Gue celingak-celinguk, memastistikan asal suara itu.

"Ini bukan tempat konser! Kelas lain sedang belajar!" gue bengong. Ternyata barusan itu kepala sekolah yang dari tadi manggil-manggil nama gue.  Dan seketika,

"Plak..!" sebuah tamparan keras terdengar begitu liar. Gue elus-elus pipi gue sambil nunduk.  Gue bisa ngerasain lima jari kepala sekolah terukir begitu indah dikedua pipi gue. Temen yang ikut nyanyi juga mendapat hal yang sama. Lalu, kami semua disuruh berlutut sampe jam pelajaran selesai. Dan yang paling bikin gue enggak tenang adalah, gitar kesayangan disita, dan disimpan di kantor. 

Hari-hari selanjutnya gue ke sekolah tanpa ditemani gitar. Gue berasa sepi banget.  Seperti sepasang kekasih yang tiap harinya ketemu, dan mendadak berpisah gara-gara salah satunya berpindah profesi jadi Waria. 

Sebulan setelah kejadian itu, Pak Ignas, samperin gue di kelas   

"Robi..." panggilnya dari luar pintu "Mana gitarmu? Bapak pinjam" lanjutnya kemudian, sesaat setelah sempet ngobrol sama guru yang laen.
"Maaf, Pak. Gitarku disita kepala sekolah" balas gue sambil sok-sokan buka buku. Padahal mah gak ada catatan didalamnya.

Tanpa komentar lagi, Pak Ignas, lansung keluar dari kelas gue. Gak lama setelah itu,

"Kenapa gak ngomong sama bapak?" kata pak Ignas, singkat. Belom sempet gue bales pertanyaanya, dia nyerocos lagi "Sini, kita latian diruangan sebelah". Dan tanpa babibu, gue lansung keluar. Seneng banget rasanya, setelah sebulan gak nyentuh gitar kesayangan gue. Seperti sepasang kekasih yang kembali bersama setelah salah satunya tobat jadi Waria. 

Kebetulan banget hari itu adalah hari Sabtu, dan biasanya semua siswa wajib membersihkan ruang kelasnya masing-masing, apalagi setelah itu bakal libuar panjang. Yah, kalo gak salah libur Natal dan tahun baru.

Disaat temen-temen gue bersih-bersih, mulai dari kelas, rungan guru, perpustakan, juga halaman depan dan belakang sekolah, gue malah asik gitaran sama Pak Ignas. Dan bisa dipastikan mereka semua pada ngiri.  "Hahaha.." gue ketawa bangga.

Tentu, cewek-cewek pada klepek-klepek ngeliat duet antara gue sama pak Ignas. Yah, walopun ini cuma pemikiran gue sih. Ajaibnya, hal ini terjadi berkali-kali, terutama kalo mau libur. Gue selalu luput dari kegiatan bersih-bersih sekolaah. Jadi misalnya libur udah deket, seperti biasa, Pak Ignas selalu nyari gue. Dan lagi-lagi temen-temen gue pada ngiri. Uuhh..indahnya jadi gue.

Selama masa putih abu-abu, gue mungkin satu-satunya siswa yang paling sering kena hukuman dari guru. Terutama karena penampilan gue yang aneh-aneh, seperti baju putih yang gue padukan dengan celana pramuka. Perpaduan yang gaul menurut gue waktu itu. Gue inget banget suatu pagi, ditemani Wawan, sohip gue, melangkah tanpa ragu didepan ruang guru

"Wah, seragammu bagus sekali" Pak Ande, memuji gue dengan indahnya. Sesaat gue ngerasa keren banget. Senyum-senyum simpul karena dipuji sama guru. Sesaat kemudian, "Pulang Sekarang! beli seragam baru!" lanjut Pak Ande, lengkap dengan mata melotot dan gak ada senyum sama sekali. Gue bengong.

Kalo udah gini, gue terpaksa menuruti permintaan Pak Ande. Gue terpaksa gak mengikuti pelajaran, dan gue terpaksa nguras dompet buat beli seragam baru. Salah sendiri, pakaian udah gak bener ditambah pula dengan gambar cewek tanpa busana, lengkap dengan semboyannya "Siapa cepat, dia dapat"

Emang, sekilas diperhatikan gambar cewek itu menarik. Terutama Kalo dilihat dari hasil lukisannya. Karena emang itu digambar sama temen gue yang jago banget. Yang jadi masalah adalah, kenapa harus cewek dan tulisannya kek gitu. Parah banget, kan? 

Belom lagi gue yang suka candain anak-anak cewek dikelas, dan rambut gue yang selalu dipotong separuhnya sama guru. Pokoknya lengkap deh. Tapi dari semua itu, ada satu yang selalu dibanggain sama wali kelas: Gue rajin ke sekolah. Yah, gak peduli gue bodoh dikelas, suka melanggar aturan, dan  kalo diperiksa di buku absen gak ada tuh alpa.

Ada juga satu kegiatan yang paling gue suka selama masa putih abu-abu: Studi sore. Kegiatan yang sengaja diterapkan oleh sekolah untuk meningkatkan prestasi, malah gue gunain sebagai ajang pacaran. Jadi kalo studi sore, gue selalu datang lebih awal, dan milih tempat duduk paling belakang.  Disaat temen-temen yang lain fokus belajar, gue asik becandaan sama pacar. Maklum, pacar gue kebetulan sekelas. Pacar gue yang baiknya gak ketulungan, sampe gue betah dan gak pengin cari cewek lain. Pacar yang perannya bukan hanya pacar. Selain temen curhat, sesekekali sok-sokan ngomong masa depan. Kadang jadi tukang nyatet, tukang bayar kalo makan, kadang juga gue sulap jadi tukang cuci pakain seragam.  Pokoknya perannya banyak deh. 

Kalo gue inget-inget, suka ketawa sendiri. Apalagi waktu acara perpisahan di sekolah, gue siswa satu-satunya yang berani peluk guru di sekolah. Ingat, Peluk! Lengkap dengan air mata, dan kalimat minta maaf atas semua kelakauan ajaib gue.

Semua kenangan itu selalu gue inget sampai sekarang, dan mungkin kelak sampe gue tua. Gue jadi percaya sama kalimat yang sering gue denger: Masa SMA adalah masa yang paling indah. Yah, karena memang indah, bahkan terlalu indah untuk dilupakan.



Senin, 27 Januari 2014

Jurus Cerdas Sang Ponakan



Akhir-akhir ini gue sering perhatiin tingkah-tingkah ajaib dari ponakan gue, Edwin.  Pernah juga gue bahas dia dipostingan ini sebelumnya.

Tadinya sih mau bahas tentang pacar, tapi gak punya. Lalu gue berpikir untuk bahas gebetan, gak punya juga. Dari pada kebanyakan bahas tentang hal yang gak gue punya, mending bahas tentang ponakan gue sendiri. 

Ini nih penampakannya 

"Gantengnya ngalahin Om-nya sendiri" 

Layaknya anak kecil lainnya, punya cara masing-masing untuk mencapai apa yang mereka ingini. Cara yang paling umum biasanya dengan nangis. Nah, ponakan gue beda.  Yap! dia memang tercipta lain dari yang lain. Ya iya lah, wong yang sama aja gak ada.

Dibawah ini adalah beberapa jurus yang kerap dia pakai untuk menaklukan kami semua di rumah.  Lansung aja yah. Cekidot.

1. E’ek, Om Gubi...
Kalo kalian mengira bahwa Edwin bener-bener mau e’ek, itu salah besar. Benar-benar besar salahnya.  Kalo diperkirakan sebesar salah Enji yang ninggalin Ayu ting-ting lagi bunting. 
Alasan diatas sebenarnya terselip maksud terselubung didalamnya. Mari kita ikuti kisahnya berikut:

Gue lagi mandi, siap-siap mau ke kampus. Yah, gini-gini juga kan gue mandi loh ke kampus, gak lansung pergi gitu aja. Walopun setelah mandi gak ada bedanya sih.  Gue tetep jelek, pendek, tapi gak pesek. 

Nah, disaat gue lagi seru-serunya ngabisin sabun di kamar mandi; by the way, mikirnya jangan macem-macem yah. Disinilah jurus ajaib ponakan gue, Edwin, mulai beraksi. Dengan bijaksananya dia manggil gue

"E’ek, om Gubi..."

manggilnya sambil ketok-ketok pintu kamar mandi dari luar. Ketoknya keras banget, seakan-akan gue adalah hidangan lezat yang siap dinikmati, kekasih hati yang siap diapeli, dan santapan yang siap dilumati dengan nafsu birahinya.  Eh, ini bahasa gue kok ribet amat, yah? 

"Bentar, Om lagi mandi"

komen gue dari dalem sambil gosok-gosok selangkangan. Lagi seru-serunya gitu deh.  Bukan Edwin namanya kalo dia nyerah gitu aja. Mungkin Thomas Alva Edison, ato Mike Tison. Diapun ngulang lagi dengan teriakan yang sama
 
"E’ek, Om Gubi..." kali ini terikannya lebih kenceng. Mungkin karena belom ada tanggapan dari gue

"Dasar bocah gak tau tata karma" cetus gue seraya membukakan pintu buat dia.  Walopun dengan berat hati dan berat dosa.  

"Masuk!" lanjut gue kemudian.

"Emm.." senyumnya kembang kempis layaknya balon yang sedang ditiup, setalah gue membukakan pintu. Lalu,

"Om Gubi..Om Gubi..", dia nyebut nama gue yang dia ubah sendiri sesuai dengan perkembangan lidahnya. Kalo udah nyampe didalem gini, yang tadinya mau e’ek seketika berubah pengin ikut mandi sama gue. Tanpa babibu, dia lansung buka baju, yang sebenarnya dia sendiri gak bisa.  Gak ada alasan lagi selain bantu dia buka bajunya, kemudian mandi bareng. 

Gue bengong, sambil mikir kenapa hal ini bisa terjadi. Apa mungkin dulu pas hamil Edwin, Mamanya ngidam mandi berdua dengan sesama jenis.  Yang pasti, gue coba menerima kenyataan, bahwa ini adalah keinginan manusia, bukan kehendak sang pencipta. 

Bayangin, hal ini terjadi berkali-kali, dan gue dengan terpaksa menuruti maunya ponakan gue yang ajaib ini.  Yap! itu adalah niat terselubung dari alasannya "E’ek, om Gubi", yang tujuan sebenarnya cuma pangin mandi bareng gue. Entah dia pengin melihat harta karun dari Omnya yang kurus ini, ato hal lain, gue juga gak tau.  Pengin rasanya gak mengakui dia sebagai ponakan, tapi gak jadi deh, gue kan orang baik-baik, jomblo lagi.

2. Aus, Mama...
Ini adalah jurus ajaib kedua yang dimiliki, Edwin. Sekali lagi, jangan mengira bahwa Edwin benaran haus. Ini hanya tinggal menunggu waktu untuk membuktikan maksud apa yang terselip dibalik alasannya yang ajaib ini.

Biasanya Edwin menggunakan trik ini disaat  berada dalem kamar, dan pintu dikunci dari dalem sama mamanya. Kalo anak kecil kebanyakan mungkin jam sepuluh malem udah bobo, sedang ponakan gue jam segitu belom ada apa-apanya.  Mungkin ini menuruti kebiasaan omnya sendiri.  Seneng juga sih, ada sifat gue yang ada dalam diri dia. 

Seperti yang gue bilang, Edwin,  anaknya gak cepet bobo, dan tidak jarang dia maen sendirian disaat orang rumah udah pada tidur ngorok. Sebagai orang tua yang peduli terhadap kesehatannya, tentu saja gak pengin buah hati mereka begadang. Tapi apa mau dikata, Edwin adalah pribadi yang melenceng dari segala aturan dari orang tua. lalu, diapun beraksi
 
"Aus, Mama…" suaranya terdengar begitu syahdu dari kamar.  Sementara gue masih asik dikamar gue sendiri, sibuk mencari jodoh di dunia maya.
"Aus... Mama, dede aus…" kali ini volume suaranya dinaikin dikit, dan terdengar kurang syahdu. Gue masih asik dengan kesibukan gue sendiri.  Sementara mamanya gak memperdulikan keluhan sang buah hati tercinta.
"Mama... Dede aus..!" dengan sedikit tendangan kearah lemari yang letaknya dekat tempat tidur.  Dan suaranya kali ini gak terdengar syahdu sama sekali, malah lebih mirip suara ibu-ibu yang berusaha keras mendorong anaknya keluar saat melahirkan.  
 
Kalo udah gini, tak ada yang bisa dilakukan selain menuruti keinginan, Edwin. Kalo enggak, dijamin gak bakal nyaman tidur sampai pagi. Sambil membukakan pintu, mamanya dengan  muka udah mengkerut gara-gara tak kuasa melawan keinginan anak semata wayangnya, dan tak lupa dibumbui dengan mulut komat-kamit layaknya dukun yang nyembuhin pasiennya. 
Sementara sang anak, kegirangan tiada tara.  Seakan-akan dia baru saja kencan  dengan wanita pujaan hatinya. Lagi-lagi ini murni keinginan manusia sodara, bukan kehendak sang pencipta.

Jadi, dibalik alasan "aus mama" diatas, sebenarnya tujuan utamanya adalah cuma pengin main diruang tamu. Sendiri, tanpa ditemani. Sementara gue sesekali ngintip dia dari kamar, sambil menyelidiki hal-hal ajaib apalagi yang tercipta dari otaknya yang cerdas itu.

3. Senyum manis buat om yang najis
Pernahkan kalian mendengar orang yang mengatakan "senyummu adalah penyejuk hatiku", gak pernah? Kalian sungguh gak luar biasa.  Sebenarnya mah kalimat barusan gue pake buat ngerayu cewek yang pernah gue dekati. Yah, walopun akhirnya gak jadian sama gue sih, mereka lebih memilih jadian sama yang lain, dan gue cuma persinggahan doang sebelom mereka dapet yang baru.  Jahat, yah?

Jurus yang ini, biasanya Edwin terapkan ketika gue mau ke tempat temen ato ke pasar buat beli celana dalem. Maklum, CD gue udah pada bolong semua. Pokoknya pas jalan-jalan gitu lah. Nah, disaat seperti ini, Edwin, ponakan gue yang ajaib itu, mulai mendekati gue dengan senyum yang tiba-tiba manisssss banget. 

Yang biasanya dia asik dengan kesibukannya sendiri: sibuk obrak-abrik pakaian yang udah diatur rapi, sibuk carat-coret pake pen dipipinya sendiri, dan sibuk mikirin pengeluaran Negara yang gak jelas rinciannya entah kemana, tiba-tiba dia mendadak ramah banget. Belom cukup disitu, Edwin, nyiapin duluan helm gue, masker item yang biasanya gue pake kalo jalan, dan sandal gue dia ambil lalu naruh didepan pintu.  Yah, dia emang hapal barang-barang gue.  Sepertinya ini anak  calon orang cerdas dimasa mendatang. 

Setelah dia tau gue udah mantap mau pergi, dengan penuh kasih sayang dia bisikin sesuatu ke telinga gue.  Tak lupa dengan senyum khasnya.

"Om Gubi, iku..."

Yap! semuanya terjawab sudah, maksud terselubung dibalik senyum manisnya itu. Gue yang hatinya mudah tersentuh tak ingin mengecewakan perjuangan dia.  Dan, kami berduapun pergi bareng.
Gara-gara ini, gue jadi berpikir seandainya entar gue punya pacar dan gue mau kencan sama pacar gue, mungkinkah dia bakal ngelakuin hal yang sama?

"Om Gubi, iku..."

Dan seketika, seperti biasa, gue yang hatinya mudah tersentuh lalu ajak dia pergi, bertiga sama pacar gue. Lalu disaat gue sama pacar saling kecup kening, Edwin celetuk

"Om Gubi, iku..." dan gue tinggal jawab "Silahkan, Nak! ini pacar Om, pacar kamu juga"

Kamipun kecup kening bareng-bareng. Sungguh ponakan yang gak tau diri. Rebut-rebut belahan jiwa dari Om-nya sendiri.

Intinya, jurus senyum manis itu diterapkan semata karena pengin ikut bareng gue jalan-jalan. Padahal kalo udah jalan entar, belom nyampe tiga puluh menit udah bobo duluan, diatas motor. Dan lagi-lagi ini adalah murni keinginan manusia, bukan kehendak sang pencipta. 

Itu dulu yang bisa gue share tentang jurus-jurus ajaib dari ponakan gue, Edwin. Sebenarnya mah masih banyak jurus lain yang udah gue catet dibuku, tapi nanti aja deh. Postingan gue terlalu panjang kayaknya. Takut udah bosen duluan.

Seenggaknya, yang bisa gue pelajari dari tingkah ajaib Edwin adalah "betapa kreatifnya anak kecil yang umurnya masih sangat belia dalam menggapai apa yang diingini"  Mencoba berbagai cara mesti tujuannya tetep sama. Dan setelah gue cek ke pribadi gue, sepertinya gue belom melakukan ini.  Gue belom cukup gila untuk menggapai mimpi gue.  Kemudian gue sadar, "Gue kalah cerdas sama ponakan sendiri" 
Jleb.